Beranda OPINI Dari Dwitunggal ke Generasi Muda Kini: Menelusuri Semangat Perubahan menuju 78 Tahun...

Dari Dwitunggal ke Generasi Muda Kini: Menelusuri Semangat Perubahan menuju 78 Tahun Indonesia Merdeka

0
Doc. Ken Bimo Sulthoni
Ken Bimo Sulthoni
Alumni S2 Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia
Pengurus PB HMI

“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan ku cabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan ku guncangkan dunia.”

-Soekarno-

Hariannetwork.com – Pada era Globalisasi dan serba cepat seperti saat ini Pemuda seakan akan menjadi kata kunci dalam proses pembangunan bangsa ini. Perubahan yang cepat serta dinamis dalam konteks pembangunan seringkali hanya dapat ditangkap oleh para pemuda dan hal itu pun terjadi secara berulang. Perubahan inilah yang seringkali mengubah nasib bukan saja dalam konteks pembangunan akan tetapi takdir sebuah bangsa. Sejarah pun telah mencatat bagaimana pemuda menjadi pilar utama kebangkitan bangsa ini.

Pada suatu ketika di sebuah gang kecil di tengah kota surabaya, seorang pelajar yang sewaktu kecilnya sakit sakitan terkesima bagaimana bapak kos nya berpidato dan membangkitkan semangat lebih dari ribuan pasang mata untuk mau bangkit dan menolak dianggap sebagai seperempat manusia oleh kaum kolonial belanda. Siapa dia? Ia adalah sukarno yang terkesima disaat seorang HOS Tjokroaminoto menyampaikan Orasinya dan benar saja hal ini pun yang mengubah perangai sukarno kecil untuk berani dan lantang untuk berbicara.

Dikala itu sukarno muda sangat menggebu-gebu membela nasib bangsanya yang seakan akan tertindas dan dianggap sebagai seperempat manusia. Tak lama memang takdir menyatukan para pemuda yang mempunyai asa dan semangat bersama ini untuk dapat bersatu, ialah Hatta yang punya pendidikan mentereng di negeri belanda takjub disaat ia mendengar nama seorang pemuda yang lantang bersuara menantang para petinggi Hindia Belanda.

Tak banyak pikir ia pun kembali ke tanah air untuk dapat tau lebih dekat dengan sosok sukarno muda ini, seorang Hatta pun bukan lah nama asing dalam panggung perlawanan terhadap para petinggi Hindia Belanda kala itu. Namanya cukup mashur di komunitas pemuda Internasional sebagai aktivis pemuda hindia di belanda yang militan memperjuangkan nasib bangsanya. Hingga akhirnya garis tangan benar benar membawa dua pemuda berjiwa progressif yang kelak dipanggil dwitunggal ini pada panggung kebangsaan mewakili bangsanya memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Tak elak hal inilah yang membuat anak yang sewaktu kecilnya sakit sakitan itu dikenal sebagai bapak bangsa sekaligus presiden pertama republik ini dengan lantang berkata “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan ku cabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan ku guncangkan dunia.”  Bukan tanpa alasan ia mengatakan demikian, masa mudanya ia habiskan bukan hanya sekedar duduk dibangku sekolah maupun kuliah, akan tetapi seringkali ia mendapatkan inspirasi dan teman seperjuangan dipanggung tanding perlawanan terhadap kolonial belanda.

Bukan hanya potongan cerita semangat muda dari Dwitunggal tersebut masih banyak lagi cerita heroik dan mengesankan dari para pemuda kala itu, dan tanpa mereka semua bangsa ini takkan mampu membebaskan belenggu penjajahan dari alam pikiran dan juga fisik rakyatnya. Yang menarik dari cerita heroik para pemuda itu ialah persamaan akan semangat menangkap perubahan selalu berulang pada generasi muda ini. Layaknya kuncup daun yang masih hijau dan segar ia selalu sumringah menangkap cahaya matahari dan membuatnya bertumbuh menjadi lebih kuat.

Generasi muda saat ini merupakan kuncup baru dari kuncup lama yang sudah gugur, ia membawa semangat baru, perspektif baru dan juga gagasan baru. Bangsa dan negara ini dibangun dari angan angan kemerdekaan para leluhur seperti Cut nyak Dien di Aceh, Sultan Hasanudin di sulawesi, pangeran Dipoengoro di Jawa dan banyak lagi para pahlawan yang gugur dimedan perang hanya untuk terbebas dari belenggu Penjajahan.

Penjajahan tak hanya menguasai fisik individunya akan tetapi juga merasuki alam jiwa dan juga pikiran individu itu sendiri. Ibarat seekor Gajah yang ditangkap dan dibelenggu bertahun lamanya tatkala belenggu itu dilepas ia tak akan kemana, karena bukan lagi rantai yang membelenggunya akan tetapi jiwa dan pikirannya yang terpenjara. Perasaan terbelenggu dan terpenjara ini termanifestasikan dalam bentuk sikap dan juga karakter mahluknya. Manusia Indonesia menjadi salah satu contoh nyata bahwa ketidakpercayaan diri dan juga perasaan rendah diri dihadapan bangsa lain sebagai dampak dari penjajahan beratus tahun lamanya.

Selain itu perasaan untuk mencari pengamanan diri dan rela mengorbankan yang lain juga merupakan hasil dari penindasan ratusan tahun lamanya. Untuk itu Pemuda Indonesia harus mampu berjuang untuk mengikis produk penjajahan yang telah menjelaga dalam jiwa dan karakter bangsa ini. Sukarno mengatakan bahwa kita masih hidup dalam alam perjuangan dan akan tetap hidup dalam alam perjuangan itu. Untuk dapat berjuang, maka sesuatu bangsa harus mempunyai kemauan untuk berjuang dan pemimpin berkewajiban menghidupkan kemauan berjuang itu.

Para pemuda harus mampu membangkitkan Self Consciousnya untuk bangkit, dan Self Conscius itu bukan hanya barang jadi yang muncul begitu saja akan tetapi didasari oleh adanya dorongan sesuatu hal. Dorongan apa ? Sukarno menjawabnya ialah imperialisme dan juga kolonialisme yang sudah berganti wajah dalam bentuk neo imperialisme dan neo kolonialisme baik dalam bentuk ekonomi, sosial, pendidikan bahkan politik itu sendiri.

Self Consciousness yang memuat keberadaan jiwa nasional akan menghasilkan antithese terhadap bentuk bentuk exploitation, exploitation de nation par nation, exploitation de l’homme par l’homme. Di abad 21 ini kesemuan dan kepalsuan membanjiri jagat publik kebenaran dan kepastian akan selalu diragukan dengan dalih pembenaran terhadap kepentingan kepentingan personal. Inilah senyata nyatanya terpendamnya Self Consciousness sebagai akibat dari praktik kapital yang verzadigd atau jenuh di barat dan mencari outletnya di dunia timur berupa uang dan industri dalam meninabobokan masyarakat kita.

Pada perayaan 78 Tahun Indonesia, para pemuda harus mau mewakafkan diri menjadi pelopor gerbong persatuan dan bangkit kembali dari keterpurukan serta bangun dari nyanyian ninabobo pembangunan bangsa asing. Bangsa ini mampu mengaum layaknya harimau sumatera jangan sampai dugaan lawas etnolog belanda professor Veth menjadi benar dikala ia berkata bahwa “Semangat harimau bangsa Indonesia sudah dijinakkan sampai kutu kutunya karena tak luput dari bekerjanya obat tidur penjajahan yang lama dibawah bangsa yang lebih kuat”!.

Editor: Tim Redaksi Harian Network

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here