Beranda OPINI Krisis Moneter 1998 Jangan Sampai Terulang Lagi

Krisis Moneter 1998 Jangan Sampai Terulang Lagi

0
Ahmad Rifai
Mahasiswa Magister SB-IPB
Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam

Hariannetwork.com – Transisi dari masa Orde Lama ke Orde Baru, sekaligus terjadinya perubahan kebijakan yang cukup signifikan. Kebijakan Orde Baru menonjolkan kebijakan pembangunan dimana dengan keterbatasan persediaan anggaran, pemerintah melakukan kebijakan meminjam dana ke luar negeri yang disebut hutang luar negeri. Sistem ekonomi pada masa Orde Baru sebenarnya dilakukan bukan berdasarkan sistem mekanisme pasar yang sehat dan betul-betul terbuka. Unsur perencanaan negara yang terpusat cukup menonjol sehingga pilihan-pilihan industri tidak berjalan berdasarkan signal-signal pasar, yang obyektif dan rasional.

Perencanaan ekonomi tersentralisasi yang berkombinasi dengan jeratan kelompok kepentingan di lingkaran pusat kekuasaan dan elite pemerintahan telah menjadi pola (patern) utama dari desain kebijakan ekonomi. Kebijakan hutang luar negeri, yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan ratusan bahkan ribuan proyek yang terlibat di dalamnya pasti tidak bisa terhindarkan sebagai sasaran rente ekonomi. Jadi, pembuat desain kebijakan ekonomi bagaikan menciptakan mobil dengan “pedal gas” yang dapat dipacu dengan cepat.

Perumpamaan itu dapat terlihat dari rekayasa pertumbuhan ekonomi yang cepat berbasis hutang luar negeri dan dilanjutkan dengan ekploitasi sumber daya alam secara berlebihan untuk mengejar “setoran” hutang. Namun demikian, teknokrat para pembuat rancangan kebijakan ekonomi tadi lupa membuat “rem” pengendali yang baik. Akhirnya ekonomi Indonesia betul-betul terperangkap hutang yang menggiring ke jurang krisis moneter dan kemudian menular ke dalam seluruh sistem ekonomi, yang sebenarnya rentan. Krisis multi dimensi lanjutannya telah menyebabkan ongkos sosial-politik yang tinggi. Bahkan biaya kemanusiaan yang terjadi juga sangat luar biasa mahal dan terpaksa harus dibayar oleh bangsa ini, yang tidak mungkin tertutupi oleh nilai tambah dari pertumbuhan ekonomi yang tercipta selama ini. Ekonomi pasar yang semu dilaksanakan dengan warna yang kuat dan sangat menonjol dalam proses pertumbuhan ekonomi masa itu.

Oleh karena itu, tidak terhindarkan intervensi pemerintah dalam berbagai bidang ekonomi. Hal ini utamanya terlihat dalam rancangan serta implementasi APBN yang syarat dengan ketergantungan terhadap hutang luar negeri tersebut. Faktor hutang luar negeri dalam rancangan pembangunan ekonomi tersebut telah menyebabkan dampak negatif tidak hanya dari sisi teknis kemampuan membayar kembali, negatif outflow dan debt service ratio yang melampaui batas wajar. Dampak desain kebijakan hutang luar negeri tersebut telah menyodok aspek-aspek non-ekonomi, terutama kerusakan birokrasi,iklim usaha, perburuan rente, inefisiensi, dan sebagainya. Kerusakan aspek non-ekonomi ini, baik kelembagaan maupun perilaku aktor-aktor ekonomi, jauh lebih besar biaya sosialnya daripada aspek ekonomi itu sendiri.

Batas merah dari DSR sebesar 20 persen sudah dilanggar sejak lama sehingga beban pembayaran hutang luar negeri ini telah menjadi penyakit laten bagi ekonomi nasional. Bahkan persoalan hutang luar negeri itu sendiri telah menjadi isu politik yang dirasakan sebagai api dalam sekam. Kritik sama sekali tidak dihargai bahkan cenderung melemah karena DPR tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai lembaga pengawas. Kerapuhan kebijakan hutang luar negeri ini ditutupi dengan jargon politik “Hutang hanya sebagai komplementer”. Sementara itu para teknokrat dan ekonomi afilatifnya sibuk menjustifikasi bahwa hutang luar negeri masih dapat dianggap sebagai persoalan publik yang dapat dikelola (manageable). Distorsi-distorsi ekonomi terjadi karena diawali dengan semangat etatisme yang kuat dan diikuti berbagai gangguan kelompok kepentingan yang cukup besar.

Transaksi hutang luar negeri pemerintah telah menjadi bencana bagi perekonomian nasional ketika terbukti dari akumulasi yang besar dari pembayaran cicilan pokok dan bunganya. Aliran modal keluar melalui transaksi hutang ini telah menyebabkan kehilangan kesempatan investasi (oppurtunity lost) sehingga daya dorong fiskal secara langsung dari tahun ke tahun mengalami penurunan.

Kebanyakan penerimaan pemerintah dari pajak masuk ke dalam pengeluaran rutin, yang kebanyakan dipakai untuk membayar hutang luar negeri. Kebijakan hutang luar negeri Indonesia akhirnya memang menjadi catatan sejarah ekonomi yang buruk dan sekaligus dapat dicatat sebagai suatu kecelakaan sejarah. Sampai pada saat ini utang luar negeri mencapai , pemerintah tetap merasa santai seolah-olah tidak terjadi apapun dan tidak ada upaya yang signifikan untuk mengurangi hutang luar negeri. Tidak ada perubahan kebijakan yang mengantisipasi dengan cepat permasalahan hutang luar negeri ini sehingga terus menumpuk tanpa penyelesaian. Rutinitas perencanaan fiskal terus dijalankan tanpa makna yang berarti untuk mengurangi ketergantungan terhadap hutang luar negeri tersebut. Namun, akhirnya muncul kesadaran ketika semuanya sudah terlambat, penyakit sudah terlanjur menjadi akut dan kronis, sehingga sulit rasanya untuk bisa keluar dari cengkeraman hutang luar negeri.

Pada tahun 1998 utang luar negeri per maret 1998 mencapai 138 miliar dollar AS, dan per januari 2023 utang luar negeri Indonesia 404,9 miliar dollar AS. Pemerintah perlu kembali membuka lembaran sejarah krismon 1998, sehingga bisa menakar-nakar ketika merencanakan hal strategis baiknya jangan berutang, meskipun krismon 1998 utang luar negeri bukan menjadi variable utama tapi paling tidak perlu berkaca dan mempertimbangkan segala keputusan. Kita belum mengetahui kedepan kondisi politik apakah sesuai dengan koridor yang ditentukan atau malah sebaliknya. Juga harus dilihat jika kondisi politik tidak baik akan berdampak kepada PHK karyawan, harga barang pokok melambung tinggi dll.

Memori krismon 1997/1998 harus tetap kita jadikan sebagai reminder penting bahwa apapun alasannya, pemerintah harus mengambil semua jalan yang mungkin untuk menambal kerapuhan ekonomi yang bisa berakibat krisis. Sebab, apapun alasannya, kerapuhan ekonomi yang bisa berujung pada krisis pada akhirnya akan mempersempit peluang rakyat banyak untuk mendapatkan “hak untuk hidup sejahtera”.

Editor: Tim Redaksi Harian Network

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here