Beranda OPINI Metaverse: Potensi, Peluang, dan Tantangan Strategi Komunikasi Politik Indonesia di Masa Depan

Metaverse: Potensi, Peluang, dan Tantangan Strategi Komunikasi Politik Indonesia di Masa Depan

0
Ken Bimo Sultoni
Ken Bimo Sultoni - Peneliti Sygma Research and Consulting dan Dosen Universitas Negeri Surabaya

Hariannetwork.com – Perkembangan teknologi dan media sosial telah mengubah lanskap politik secara signifikan. Era disrupsi teknologi menghadirkan tantangan baru dalam politik, terutama melalui pengaruh media sosial dan pertarungan wacana politik. Topik yang sedang tren di media sosial menjadi tolok ukur kegaduhan politik yang terjadi pada waktu tertentu. Namun, perkembangan media digital tidak selalu membawa dampak positif. Kemajuan teknologi, seperti media sosial, seringkali disalahkan atas penyimpangan demokrasi dan kerusakan lingkungan demokrasi akibat penyebaran informasi palsu atau hoaks.

Di sisi lain, perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Facebook, Microsoft, dan Google sedang mengembangkan konsep baru dalam teknologi digital dan media sosial yang disebut Metaverse. Metaverse merupakan konsep lingkungan virtual yang semakin populer dan diyakini dapat mengubah cara interaksi dan berinteraksi dalam dunia digital. Di dalam Metaverse, pengguna dapat mengakses berbagai konten, berinteraksi dengan pengguna lain, dan bahkan menciptakan konten mereka sendiri.

Di Indonesia, pertumbuhan infrastruktur digital yang pesat dan populasi pengguna media sosial yang besar menciptakan potensi besar untuk pengembangan Metaverse. Namun, pengembangan Metaverse juga dihadapkan pada tantangan seperti keterbatasan infrastruktur digital, masalah keamanan data, dan regulasi yang belum matang. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tantangan dan peluang pengembangan Metaverse di Indonesia serta memberikan pemahaman tentang regulasi dan kebijakan yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhannya di negara ini.

Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa potensi pengembangan Metaverse di Indonesia sangat besar. Berdasarkan survei dari PricewaterhouseCoopers (PwC), sebanyak 35% responden di Indonesia telah menggunakan Metaverse dalam dua tahun terakhir. Hal ini menunjukkan adanya minat yang cukup besar di Indonesia terhadap Metaverse. Selain itu, mayoritas penduduk Indonesia adalah Generasi Z dan Generasi Milenial, yang merupakan kelompok usia produktif dan memiliki potensi besar dalam mengadopsi teknologi baru seperti Metaverse.

Namun, implementasi Metaverse dalam politik juga memiliki tantangan. Beberapa hambatan yang dihadapi antara lain kurangnya minat masyarakat, kompleksitas pengembangan Metaverse, serta keterbatasan akses dan biaya perangkat. Selain itu, masalah keamanan data dan potensi pengaruh asing juga menjadi perhatian dalam pengembangan Metaverse. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang tepat untuk mengatur pengembangan Metaverse dan melindungi kepentingan pengguna.

Salah satu masalah lain yang muncul adalah potensi penggunaan algoritma bubble filter dalam dunia Metaverse. Algoritma bubble filter menyebabkan pengguna media sosial hanya terpapar pada sudut pandang yang serupa dengan sejarah pencarian mereka. Hal ini mengakibatkan terbentuknya gelembung informasi atau fenomena yang dikenal sebagai “Daily Me,” di mana informasi yang diterima hanya sesuai dengan keinginan dan kebiasaan pengguna. Dampak dari algoritma ini mencakup sikap populisme, kebencian terhadap perempuan dan minoritas, berkembangnya pemahaman radikalisme dan ekstremisme, fenomena “Post-Truth,” serta kekacauan politik yang dapat mengancam demokrasi.

Dari tinjauan literatur yang ada, hampir semua pihak sepakat bahwa Metaverse merupakan tahapan lanjutan dari dunia digital yang ada saat ini. Seperti yang diulas dalam jurnal “Making the Metaverse Real,” Metaverse akan menjadi nyata, tetapi tidak dalam waktu dekat, setidaknya setelah permasalahan inti seperti ruang, antarmuka, infrastruktur IT, infrastruktur moneter, identitas digital, dan energi terselesaikan (Zalan & Barbesino, 2023).

Selain itu, kaitan antara Metaverse dan strategi komunikasi politik juga terlihat dari pembentukan citra avatar yang digunakan oleh para pengguna ketika memasuki dunia Metaverse. Hal ini dibuktikan dalam riset berjudul “Avatar-mediated Experiences in the Metaverse: The Impact of Avatar Realism on the User-avatar Relationship,” yang menjelaskan bahwa avatar yang realistis akan menguatkan hubungan antara penggunanya. Namun, avatar yang terlalu realistis, yang menyerupai manusia, dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan penolakan emosional dari penggunanya (Kim, Lee & Chung, 2023).

Dalam perspektif komunikasi politik, citra diri akan berpengaruh secara signifikan pada tingkat keterpengaruhan seseorang. Oleh karena itu, citra visual avatar menjadi penting ketika seseorang mencoba memasuki dunia Metaverse. Selain itu, Metaverse memberikan tingkat interaksi baru yang menggabungkan dunia fisik dan dunia maya. Metaverse merupakan produk nyata dari disrupsi teknologi yang terjadi saat ini. Disrupsi teknologi inilah yang nantinya akan mempengaruhi tatanan politik, yang biasa disebut sebagai disrupsi politik. Marshall McLuhan (1964) dalam bukunya Understanding Media: The Extensions of Man menjelaskan bahwa teknologi dapat dipandang sebagai perpanjangan dari tubuh manusia. Ini lah yang membuat tata kelola dan strategi politik berubah mengikuti perkembangan teknologi berdasarkan prinsip teknologi sebagai bentuk perpanjangan tubuh manusia.

 

Penulis : Ken Bimo Sultoni
Editor  : Tim Redaksi Harian Network

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here