Beranda OPINI Membaca Langkah Catur Politik Prabowo

Membaca Langkah Catur Politik Prabowo

0
Prabowo

Hariannetwork.com –  Dalam bulan-bulan awal pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto menunjukkan langkah-langkah strategis yang mencerminkan upaya konsolidasi kekuasaan dan penataan ulang arah kebijakan nasional. Namun, dinamika politik yang berkembang menunjukkan bahwa langkah-langkah tersebut tidak lepas dari tantangan dan kontroversi.

Sebagai seseorang yang berpengalaman dalam dunia kemiliteran dan juga dunia politik selama puluhan tahun, sosok prabowo lekat dengan karakter konsep kepemimpinan strategis, yang mana menurut Christensen (2010), kepemimpinan startegis ialah “A person’s ability to anticipate, envision, maintain flexibility, think strategically and work with others to initiate changes that will create a viable future for the organization”.

Hal itu pun terlihat dari langkah-langkah politik yang dilakukan oleh Prabowo. Salah satu langkah penting yang menarik perhatian adalah manuver politik yang merangkul kelompok-kelompok pendukung Presiden Joko Widodo yang menunjukan karakter fleksibilitas politik. Koalisi besar yang dibangun tampaknya bertujuan untuk menjamin stabilitas politik sekaligus mengamankan dukungan parlemen. Namun, manuver ini juga menimbulkan gesekan internal, terutama dari kalangan purnawirawan TNI yang belakangan menyuarakan penolakan terhadap proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara serta keberadaan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden terpilih.

Desakan yang dilakukan oleh para purnawirawan tersebut, menandakan adanya perbedaan pandangan serius di lingkaran elite, khususnya terkait arah kebijakan strategis nasional. Di satu sisi, hal ini mencerminkan dinamika demokrasi yang sehat; di sisi lain, juga menjadi tantangan tersendiri bagi Prabowo untuk merawat kohesi di antara faksi-faksi kekuasaan. Belum lagi isu pencopotan letjen kunto yang dianulir oleh panglima TNI juga menimbulkan tanda tanya besar ditengah kencangnya upaya pelengseran Gibran dari wakil presiden yang juga didukung oleh Tri Sutrisno yang notabene merupakan ayahanda dari Letjen Kunto.

Langkah lain yang tak kalah strategis adalah pemangkasan belanja negara hingga lebih dari Rp.300 triliun melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Kebijakan ini diposisikan untuk mendanai program makan bergizi gratis dan sejumlah janji kampanye lainnya. Di tengah kondisi global yang fluktuatif dan ketidakpastian fiskal, langkah efisiensi ini bisa dilihat sebagai bentuk penataan ulang prioritas negara. Namun, konsekuensinya, sejumlah proyek besar termasuk IKN harus ditinjau kembali kelayakannya dalam jangka pendek.

Hal yang juga perlu dicermati adalah perluasan peran militer dalam pelaksanaan program-program pembangunan dan ketahanan pangan. Langkah ini menimbulkan perdebatan mengenai batas antara peran militer dan institusi sipil. Sejarah panjang Indonesia menunjukkan bahwa ketidakseimbangan dalam relasi sipil-militer berpotensi mengganggu konsolidasi demokrasi. Ketakutan publik akan bangkitnya Dwi Fungsi Abri cukup relevan dimana kala itu soeharto mampu menekan supremasi sipil. Hal ini juga dapat menandakan lemahnya Institusi Sipil yang ada di Indonesia kala itu, selaras dengan apa yang dikatakan oleh Harold Lasswel yang menyebut praetorianism, yaitu situasi di mana militer mengintervensi atau bahkan mengontrol politik karena kelemahan institusi sipil.

Akan tetapi Teori Lucian Pye juga menekankan bahwa di negara berkembang, militer seringkali dianggap sebagai institusi paling modern dan efisien, sehingga dipandang sebagai “Savior atau penyelamat” dari kekacauan politik. Hal ini lah yang memunculkan anggapan sebagian publik yang menganggap bahwa keterlibatan militer dalam ruang-ruang sipil dianggap masih dalam batas kewajaran sejauh tidak menekan supremasi sipil dalam konteks penentuan kebijakan negara yang lebih dalam terlebih dikala situasi politik menjadi kompleks.

O’Donnell & Schmitter dalam Teori Post-Otoritarian dan Demokratisasi menjelaskan dalam proses transisi demokrasi, militer sering menjadi aktor veto (veto player) yang dapat menghambat atau memfasilitasi reformasi. Tantangan yang harus dihadapi ialah bagaimana mentransformasi militer dari stigma sebagai pelindung rezim otoriter menjadi pelindung konstitusi dan kedaulatan. Revisi UU TNI yang masih penuh polemik harus mampu diterjemahkan pemerintah sehingga dapat di terima oleh seluruh kalangan, terutama isu penggerusan posisi supremasi sipil yang berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah ke depan untuk menegaskan komitmen terhadap supremasi sipil dan tata kelola pemerintahan yang lebih akuntabel.

Peta kekuasaan Prabowo tampaknya disusun layaknya permainan catur: penuh perhitungan, mengantisipasi gerakan lawan, namun sekaligus mempertimbangkan respons publik. Tantangan ke depan tidak hanya soal menjaga stabilitas, tetapi juga membuktikan bahwa demokrasi dan efisiensi dapat berjalan beriringan. Prabowo memiliki peluang besar untuk mewujudkan kepemimpinan yang inklusif, merangkul kritik, dan tidak terjebak dalam politik simbolik semata.

Publik akan menanti, ke mana arah pemerintahan ini akan melangkah: menuju demokrasi yang kian matang, atau kembali pada pola kekuasaan lama yang terpusat dan elitis. Catur politik yang dimainkan Prabowo hari ini akan menentukan wajah Indonesia lima tahun ke depan.

Penulis : 
Ken Bimo Sultoni
Dosen Universitas Negeri Surabaya / CEO Sygma Research and Consulting
Editor  : Tim Redaksi Harian Network

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here