“Simbol Kebebasan Atau Cermin Krisis Identitas Nasional?”
Hariannetwork.com – Delapan dekade Indonesia merdeka dari penjajahan, namun di tengah semangat nasionalisme yang membuncah, pemandangan tak biasa muncul di jalan-jalan, ruang publik, hingga media sosial: bendera bajak laut anime One Piece, dengan simbol tengkorak bertopi jerami, berkibar berdampingan atau bahkan menggantikan Merah Putih di sejumlah tempat.
Fenomena ini mencuat di kalangan anak muda, dipicu oleh popularitas One Piece yang mendunia dan pesan tentang kebebasan, perlawanan terhadap tirani, dan impian besar yang resonan dengan generasi digital saat ini. Di berbagai kota seperti Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya, komunitas pop culture bahkan menyelenggarakan parade bertema “Freedom Like Luffy” jelang kemerdekaan Ke-80 RI. Namun, tak semua pihak menyambutnya positif.
“Kita tidak sedang menyalahkan imajinasi anak muda. Tapi dalam konteks kemerdekaan ke-80, ketika simbol Merah Putih tergantikan, kita harus waspada terhadap krisis identitas kebangsaan,” kata Dr. Ratna Wijayanti, pengamat budaya dari Universitas Indonesia.
Momen Refleksi dan Tantangan Narasi Nasional
Tagar seperti #BenderaLuffy dan #MerahPutihJanganTergantikan viral di media sosial, memperlihatkan polarisasi pandangan publik. Sebagian menilai ekspresi ini sebagai bentuk kebebasan berekspresi, namun sebagian lainnya menuntut penghormatan terhadap simbol negara, terutama dalam momentum bersejarah seperti ini.
“Narasi kebangsaan kita butuh bahasa baru yang relevan dengan zaman. Kalau tidak, anak muda akan mencari simbol lain yang mewakili semangat mereka,” kata Muhammad Syafiq, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah mengeluarkan imbauan resmi, mengajak masyarakat untuk tetap menjadikan Merah Putih sebagai simbol utama perjuangan dan kemerdekaan, sembari membuka ruang dialog lintas generasi.
Suara dari Dunia Ekonomi dan Kebijakan
Nashir, peneliti Sygma Research, melihat fenomena ini tidak lepas dari krisis representasi ekonomi yang dirasakan generasi muda. Ia menyebut bendera One Piece bukan sekadar ekspresi budaya, tetapi bentuk kritik diam terhadap ketimpangan struktural yang belum juga tuntas, bahkan dalam pemerintahan baru.
“Generasi muda saat ini hidup dalam tekanan ekonomi yang tinggi — biaya hidup melonjak, akses terhadap pekerjaan berkualitas makin sempit. Ketika simbol negara tidak lagi memuat harapan kesejahteraan, mereka beralih ke simbol alternatif yang menjanjikan kebebasan,” ujar Nashir.
Ia juga menyoroti pentingnya Presiden Prabowo memanfaatkan momen kemerdekaan ke-80 ini sebagai turning point untuk menguatkan agenda ekonomi inklusif.
“Kalau Presiden Prabowo ingin menjawab tantangan ini, maka perlu pendekatan kebijakan yang tidak hanya makro dan elitis, tapi menyentuh kehidupan konkret anak muda — seperti reformasi pendidikan vokasi, ekonomi kreatif, dan digitalisasi kewirausahaan,” tambahnya.
Nashir juga menyarankan agar pemerintah membangun narasi simbolik yang bisa menjembatani nilai-nilai perjuangan kemerdekaan dengan bahasa generasi Z dan Alpha.
Menyambut 100 Tahun Kemerdekaan: Menuju Narasi yang Menyatukan
Delapan puluh tahun merdeka seharusnya menjadi momentum refleksi. Apakah simbol-simbol perjuangan masih relevan? Ataukah kita memerlukan pendekatan narasi baru yang mampu menyatukan semangat nasionalisme dan ekspresi zaman?
“Yang kita butuhkan bukan pelarangan simbol budaya pop, tapi transformasi narasi nasional yang memuat harapan, keadilan, dan ruang partisipasi,” tutup Nashir.
Satu hal pasti, peringatan Kemerdekaan RI ke-80 ini membuka diskusi penting: bagaimana menjadi Indonesia di tengah dunia yang berubah cepat dan penuh simbol global? Jawabannya bisa jadi bukan hanya dalam bentuk bendera, tapi dalam keadilan yang nyata.
Penulis : Oleh: Nashir | Peneliti Sygma Reseach and Consulting















