Beranda OPINI Amok: Dari Sejarah Nusantara ke Kerusuhan Indonesia Terkini

Amok: Dari Sejarah Nusantara ke Kerusuhan Indonesia Terkini

0
Ken Bimo Sultoni, Dosen Ilmu Politik Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Peneliti Sygma Research and Consulting

Bagi orang Indonesia, istilah amok bukanlah hal asing. Dalam bahasa sehari-hari, kita menyebutnya “mengamuk” sebuah ledakan kemarahan mendadak yang tak terkendali. Menariknya, kata amok justru pernah diadopsi ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-17 karena fenomena ini begitu unik di kawasan Nusantara. Para pelaut Portugis dan pedagang Prancis mencatat bagaimana seseorang tiba-tiba bisa berlari dengan senjata, menyerang siapa pun yang ditemuinya, hingga akhirnya mati di tangan orang banyak.

Dulu, amok sering dianggap sebagai tindakan heroik seorang “satria” yang siap mengorbankan diri ketika harga diri atau keadilan dilecehkan. Namun dalam kajian psikologi modern, amok dilihat sebagai bentuk culture-bound syndrome: ledakan emosi akibat akumulasi tekanan sosial dan psikologis. Dengan kata lain, amok adalah produk dari situasi yang membuat orang merasa buntu, terhina, dan tak lagi punya saluran rasional untuk menyalurkan amarahnya.

Fenomena ini terasa relevan kembali jika kita menengok kerusuhan yang melanda Indonesia dalam beberapa pekan terakhir. Dari Lampung Tengah, Pati, hingga Makassar dan Jakarta, kita menyaksikan pola serupa: protes yang awalnya damai berubah menjadi kemarahan kolektif, merusak, membakar, bahkan memakan korban jiwa. Di media sosial, kita melihat ribuan orang turun ke jalan, marah atas kenaikan pajak, tunjangan pejabat, atau tragedi kematian seorang warga. Dan ketika percikan itu bertemu dengan kekecewaan publik yang menumpuk, masyarakat “mengamuk” dalam skala massal.

Pertanyaannya, mengapa “amok” ini bisa kembali mewarnai demokrasi kita? Ada dua jawaban utama. Pertama, akumulasi ketidakpuasan. Rakyat merasa hidup makin sulit, sementara elite politik justru terlihat sibuk mengurus kenyamanan diri. Kedua, minimnya kanal aspirasi yang sehat. Protes seringkali tidak ditanggapi serius, sehingga rakyat mencari cara lain agar suara mereka didengar meski dengan cara destruktif.

Dalam konteks ini, amok bukan sekadar fenomena individu, tetapi juga gejala sosial. Ia adalah bahasa protes rakyat ketika saluran komunikasi politik macet. Bedanya dengan masa lalu, amok kini tidak lagi dilakukan seorang diri, melainkan dalam bentuk kerumunan yang terhubung oleh media sosial. “Amok kolektif” ini jauh lebih sulit dikendalikan dan dampaknya lebih luas.

Lalu, apa pelajaran yang bisa kita tarik? Pertama, jangan buru-buru melabeli amok hanya sebagai “tindakan anarkis.” Di baliknya ada rasa frustasi yang nyata, yang jika terus diabaikan akan berulang. Kedua, pemerintah harus membaca kerusuhan ini sebagai alarm sosial bahwa ada kesenjangan serius antara aspirasi rakyat dan respons kebijakan. Transparansi, keadilan, dan empati politik menjadi kebutuhan mendesak.

Sejarah telah membuktikan, amok bisa lahir dari luka yang dipendam terlalu lama. Jika demokrasi ingin tetap hidup, kita tidak boleh membiarkan rakyat kembali mencari jalan “mengamuk” untuk menyampaikan suara mereka.

Penulis : 
Oleh: Ken Bimo Sultoni
Dosen Ilmu Politik Universitas Negeri Surabaya (UNESA)
Peneliti Sygma Research and Consulting

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here