
Narasi tentang Soeharto selalu menghadirkan dua wajah, disatu sisi ia digambarkan sebagai sosok otoriter yang membungkam kebebasan politik. Disisi lain, banyak yang mengingatnya sebagai pemimpin yang berhasil mengeluarkan Indonesia dari jurang ketidakpastian pasca-Orde Lama. Diantara dua wajah itu, terdapat satu hal yang sebenarnya jarang sekali disorot yaitu cara berpikir Soeharto dalam menata negara, sistematis, kalkulatif, dan berorientasi pada stabilitas. Hal itu dapat dilakukan oleh soeharto meski ia bukanlah seseorang yang lahir dari kelompok intelektual yang di era sebelumnya kaum intelektuil ini merupakan pelopor dan rotor utama kemerdekaan Indonesia.
Setelah kejatuhan Orde Lama, Indonesia berada dalam kondisi kacau dimana inflasi ratusan persen, konflik politik tak berkesudahan, dan militer terbelah dalam faksi-faksi ideologis. Dalam situasi seperti itulah, Soeharto hadir bukan sekedar sebagai prajurit yang mengambil alih kekuasaan, melainkan sebagai arsitek tatanan baru. Ia memahami bahwa bangsa yang rapuh tidak dapat dibangun diatas perdebatan ideologi tanpa ujung. Oleh karenanya atas dasar hal tersebut, prioritas utamanya bukanlah demokrasi, melainkan stabilitas.
Langkah pertama Soeharto ialah melakukan depolitisasi rakyat. Partai politik dipersempit perannya, organisasi massa diarahkan menjadi “pendukung pembangunan,” dan rakyat didorong menjadi tenaga produktif, bukan aktor politik. Banyak pihak yang menilai hal ini sebagai bentuk pengekangan. Namun, dari kacamata strategis, Soeharto sedang membangun fondasi negara yang bebas dari turbulensi politik. Ia percaya bahwa kemakmuran tidak akan bisa tumbuh ditanah yang guncang.
Dalam konteks ini, Pemikiran Soeharto sejalan dengan logikan pembangunan Asia pada era 1970 an, mirip dengan Deng Xiaopoing lewat reformasi ekonominya. Dan bahkan bisa jadi Seorang Deng meniru pola Indonesia yang terlebih dahulu menerapkan pola pembangunan tersebut ditahun 1960 an. Dimana Deng juga memandang bahwa kemiskinan adalah musuh terbesar bangsa, dan kontrol politik adalah harga yang harus dibayar untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Kata-kata deng yang populer seperti “tidak peduli warna kucing itu hitam atau putih, yang terpenting ia dapat menangkap tikus”, menjadi cerminan bahwa yang terpenting dalam konteks negara ialah dapat mencapai tujuan utamanya yaitu kesejahteraan rakyat. Hal yang berbeda antara Deng dan Soeharto ialah latar belakangnya, jika Deng lahir dari tradisi Marxis-Leninis, sementara Soeharto tumbuh dalam kultur jawa yang menekankan harmoni dan hierarki. Keduanya sama-sama menggabungkan otoritarianisme politik dengan rasionalitas ekonomi, sebuah resep yang terbukti mampu mengangkat negara mereka dari krisis menuju stabilitas.
Setelah tercapainya stabilitas dan kondusifitas politik langkah yang dilakukan Soeharto ialah menciptakan kelompok elit ekonomi untuk merealisasikan makna pembangunan nasional. Soeharto memahami bahwa pembangunan butuh tangan-tangan yang mampu mengelola modal dan teknologi. Untuk itu ia menggandeng akademisi, teknokrat, hingga pengusaha untuk menjadi bagian dari jaringan kekusaan yang loyal. Inilah embrio dari apa yang disebut “kapitalisme negara ala Orde Baru” atau New Order-State Capitalism.
Kritikus sering menuding sistem itu sarat korupsi dan kolusi bahkan menyebutnya dengan sebutan KKN yang berarti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Namun, tak bisa dipungkiri, model ini efektif mendorong pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen pertahun melalui program Repelita sepanjang dekade 1960-1980 an, hal ini berdasarkan laporan yang dibuat oleh Arief Ramelan Karseno ditahun 2001 berjudul Review on Government Policies and the Economic Crisis in Indonesia. Ketika dunia masih sibuk berdebat persoalan ideologi, Indonesia menjadi salah satu negara berkembang paling stabil di Asia Tenggara.
Stabilitas inilah yang menjadikan Soeharto bukan hanya sebagai seorang penguasa, tapi juga ”perancang sistem”. Ia membangun birokrasi yang efisien, mengonsolidasikan militer sebagai kekuatan sosial-politik, dan menempatkan pembangunan ekonomi sebagai legitimasi utama kekuasaan. Dalam banyak hal, Soeharto memperlakukan negara layaknya sebuah mesin dimana rakyat adalah penggeraknya, elit adalah operatornya sedangkan dirinya sendiri adalah pengatur ritme.
Tentu, tidak semua langkahnya bebas dari kesalahan. Penindasan, pelanggaran HAM, dan represi politik adalah catatan sejarah masa lalu yang tidak bisa dihapus. Tetapi untuk memahami Soeharto secara adil, kita harus menilai bukan hanya dari sudut pandang akibat, akan tetapi juga rasionalitas di balik kebijakannya. Ia menjawab kegagalan Orde Lama dengan ketertiban, menjawab kekacauan ekonomi dengan pembangunan, dan menjawab keraguan elite dengan kepastian.
Dalam kacamata politik pembangunan (Developmentalism), cara berpikir Soeharto mencerminkan rasionalitas strategis dimana ia mencoba membangun dari atas ke bawah, menata struktur kekuasaan sebelum membuka partisipasi. Menurut hemat penulis Soeharto percaya, bahwa stabilitas adalah prasyarat bagi demokrasi dan bukan sebaliknya. Hal ini senada dengan pola pikir founding father singapura Lee Kuan Yew yang vokal mengkritik cita-cita demokrasi barat. Dimana ia pernah mengatakan “with a few exceptions, democracy has not brought good government to developing countries.”
Bahwa tak selamanya demokrasi membawa hal baik bagi negara-negara berkembang. Lee menganggap bahwa Ideologi bukanlah acuan utama akan tetapi ujian utama dari sebuah sistem politik ialah apakah sistem tersebut dapat membantu masyarakat untuk mampu menciptakan kondisi peningkatan standar hidup bagi mayoritas rakyatnya. Tujuan utamanya adalah memiliki masyarakat yang tertata rapi sehingga setiap orang dapat menikmati kebebasannya secara maksimal.
Mungkin pandangan ini tidak lagi populer di era politik keterbukaan saat ini, akan tetapi logika dasarnya masih sangat relevan dimana tanpa adanya stabilitas, pembangunan akan macet dan tanpa adanya arah yang pasti, kebebasan akan kehilangan maknanya. Kini dua dekade setelah reformasi, Indonesia menghadapi tantangan baru seperti ketimpangan sosial, polarisasi politik, dan ekonomi yang rapuh ditengah persaingan global. Dalam situasi seperti ini, menyelami kembali pemikiran Soeharto bukan berarti berupaya menghidupkan kembali Orde Baru, tetapi memahami bagaimana rasionalitas stabilitas bisa dipadukan dengan konsep demokrasi modern.
Soeharto mungkin bukan pahlawan tanpa cela, tapi ia adalah simbol dari generasi pemimpin yang memandang kekuasaan sebagai sarana dalam membangunan tatanan yang lebih baik. Ketika bangsa lain tenggelam dalam revolusi ideologi, ia memilih jalur pembangunan pragmatis yang hasilnya masih bisa kita rasakan hingga hari ini, jalan yang barangkali kaku dan berkerikil tajam, tetapi penuh perhitungan.
Penulis: Ken Bimo Sulthoni, S.I.P.,M.Si (Doseen Politik Universitas Negeri Surabaya/CEO Sygma Research And Consulting














