Hariannetwork.com – Sebagai dosen di Universitas Negeri Surabaya, saya memandang polemik tayangan Trans7 yang dianggap menyinggung dunia pesantren bukan sekadar persoalan teknis atau salah ucap. Lebih dari itu, peristiwa ini mencerminkan jarak batin yang semakin lebar antara mereka yang hidup di pusaran modernitas perkotaan dengan kehidupan masyarakat yang masih berpegang pada kesederhanaan dan nilai-nilai spiritual.
Bisa jadi, gedung-gedung tinggi di Jakarta telah menyempitkan pandangan sebagian insan media tentang kehidupan di luar sana, kehidupan yang tidak diukur dengan kemewahan, tetapi dengan keluhuran moral dan ketaatan kepada guru. Dalam ruang-ruang redaksi yang sibuk mengejar rating dan klik, kehidupan pondok pesantren yang bersahaja mungkin tampak asing, bahkan aneh. Padahal di balik kesederhanaannya, pesantren menyimpan kebijaksanaan yang sulit ditemui di tengah gemerlap ibu kota.
Saya teringat satu pengalaman pribadi yang sangat membekas. Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan menyambangi salah satu pesantren di Jombang. Sebagai orang luar yang awam terhadap kultur pesantren, saya datang dengan rasa ingin tahu sekaligus kehati-hatian. Namun yang menyambut kami bukan tatapan curiga, melainkan keramahan yang tulus. Sang kiai, yang notabene mungkin memandang kami sebagai tamu asing, dengan lembut justru mengajak kami untuk makan terlebih dahulu sebelum berdiskusi.
Momen sederhana itu seakan menampar kesombongan intelektual kami. Sebelum berbicara tentang norma dan etika, sang kiai mengajarkan langsung makna adab dan penghormatan lewat tindakan nyata. Kami dibuat tertegun oleh ketenangan, kebijaksanaan, dan ketinggian moral yang hidup di salah satu lingkungan pendidikan tertua di Indonesia ini.
Dari perjumpaan itu, saya belajar bahwa pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu agama, melainkan juga sekolah kehidupan tempat di mana nilai keikhlasan, kesabaran, dan rasa tazim (penghormatan) terus dijaga dengan sungguh-sungguh.
Karena itu, ketika sebuah tayangan televisi menggambarkan kehidupan pesantren secara dangkal atau bahkan menistakan, yang terusik bukan hanya warga pesantren, tetapi juga nurani publik yang masih menjunjung etika.
Tayangan semacam itu menunjukkan betapa semangat materialistik telah menumpulkan rasa hormat dan kepekaan budaya kita. Di tengah budaya yang semakin menilai segalanya dengan uang, sensasi, dan popularitas, nilai moral perlahan tergeser menjadi sekadar ornamen.
Media, sejatinya, memiliki peran besar dalam membentuk pandangan publik. Maka, sudah semestinya ia tak sekadar mengejar perhatian, tetapi juga menjaga keadaban. Permintaan maaf tentu penting, namun yang lebih penting adalah kesadaran baru, bahwa tugas media bukan hanya memberitakan, melainkan juga mendidik dan menanamkan rasa hormat pada nilai-nilai luhur bangsa.
Mungkin sudah saatnya media “turun ke tanah” kembali menyentuh realitas masyarakat desa, mendengar suara dari pondok-pondok sunyi yang jauh dari sorotan, dan belajar kembali menghargai kearifan yang lahir dari kesederhanaan. Sebab, di balik tembok pesantren yang tampak sederhana, tersimpan kekuatan moral yang sesungguhnya menjaga keutuhan karakter bangsa ini.
Dapatkan berita dan informasi lengkap lainnya dengan cara klik https://hariannetwork.com















