Hariannetwork.com – Kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat yang menurunkan tarif ekspor dari 32% ke 19% terlihat sebagai langkah diplomatik yang progresif. Namun, di balik reduksi angka tersebut, terselip klausul penting yang mulai ramai dibicarakan: potensi transfer data pribadi dan komersial lintas negara. Pemerintah menegaskan bahwa yang dipertukarkan adalah data komersial, bukan data strategis atau pribadi. Namun, benarkah garis batas ini jelas dan aman?
Dalam dunia digital yang saling terkoneksi, data adalah aset strategis. Mengutip teori Michel Foucault tentang biopolitics, data bukan hanya informasi ia adalah cara negara mengendalikan, mengatur, bahkan menundukkan warganya. Maka, ketika data penduduk, perilaku transaksi, hingga pola konsumsi dipertukarkan, yang dipertaruhkan bukan sekadar privasi, melainkan kedaulatan negara itu sendiri.
Sejumlah negara telah menandatangani kesepakatan serupa. Uni Eropa melalui GDPR (General Data Protection Regulation) memiliki standar ketat, dan hanya menjalin aliansi data dengan negara yang memiliki adequacy decision. Amerika Serikat memiliki kerangka Data Privacy Framework (sebelumnya Privacy Shield) yang sempat dibatalkan Mahkamah Uni Eropa karena dianggap melanggar prinsip perlindungan privasi.
Sementara itu, Indonesia belum memiliki payung hukum yang memadai untuk menghadapi risiko transfer data skala global ini. UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) baru berlaku efektif penuh pada 17 Oktober 2024, dan butuh waktu untuk membentuk lembaga otoritatif yang mampu mengawasi praktik lintas batas. Indonesia bukan tanpa pengalaman pahit.
Dalam kurun waktu 2020–2024, lebih dari 600 juta data pribadi diduga bocor dari berbagai institusi—baik pemerintah maupun swasta. Mulai dari skandal BPJS Kesehatan (279 juta data), Tokopedia (91 juta akun), hingga kebocoran SIM Card (1,3 miliar data), semuanya menunjukkan bahwa sistem keamanan siber nasional kita belum siap untuk menghadapi kompleksitas ancaman digital.
Dalam laporan Kompas tahun 2024 saja, terjadi peningkatan lebih dari 60% pelanggaran data pada dua tahun terakhir (2022 dan 2023–2024) yang didominasi sektor digital fintech dan ecommerce.
Jika kesepakatan ini disahkan tanpa kerangka data governance yang kuat, Indonesia berisiko menjadi “ladang tambang data” global, di mana informasi warga dipanen tanpa kendali: mulai dari profiling warga untuk kepentingan politik seperti yang terjadi dalam skandal Cambridge Analytica hingga eksploitasi ekonomi berbasis perilaku konsumen dan intervensi algoritmik yang menggerus opini publik.
Di sisi lain, keterbukaan data memang menjanjikan keuntungan jangka pendek, seperti akses pasar ekspor yang lebih luas, potensi derasnya investasi dari perusahaan berbasis data, serta berkembangnya startup dan ekosistem teknologi digital nasional. Namun tanpa mekanisme pengawasan dan sanksi tegas, semua keistimewaan itu bisa berubah menjadi jebakan manis mengorbankan martabat digital bangsa dan menempatkan kedaulatan informasi Indonesia di tangan pihak luar.
Jika Indonesia benar-benar ingin mencapai “Indonesia Emas 2045”, maka demokrasi digital bukan hanya soal jaringan internet atau aplikasi startup. Demokrasi digital adalah jaminan hak-hak warga negara atas data mereka: hak untuk tahu, hak untuk dilindungi, dan hak untuk ikut menentukan bagaimana data itu dikelola.
Transfer data lintas negara memang bisa menjadi peluang besar untuk pertumbuhan ekonomi dan inovasi. Tetapi tanpa etika politik yang tegas dan kesadaran atas kedaulatan nasional, semua itu bisa menjadi bumerang berbahaya bagi demokrasi, keamanan nasional, dan masa depan digital bangsa.
Indonesia perlu belajar dari Eropa, India, dan Brasil, yang kini lebih berhati hati dalam menandatangani kesepakatan transfer data. Perlu disusun peta jalan: mulai dari pembentukan otoritas PDP yang independen, memperkuat sanksi pelanggaran, hingga kewajiban data localization untuk sektor strategis.
Akhirnya, kita harus kembali pada prinsip dasar bahwa kedaulatan digital adalah bagian dari kedaulatan nasional. Deal ekonomi apa pun, sebesar apa pun, tidak boleh dibarter dengan kendali atas rakyat sendiri.
Penulis : Oleh: Ken Bimo Sultoni Dosen Ilmu Politik Universitas Negeri Surabaya (UNESA) Peneliti Sygma Research and Consulting















