Beranda OPINI Si Vis Pacem, Pax Per Intelligentiam : Indonesia dalam Pusaran Konflik Global

Si Vis Pacem, Pax Per Intelligentiam : Indonesia dalam Pusaran Konflik Global

0
Ken Bimo Sultoni
Ken Bimo Sultoni _ Dosen Ilmu Politik UNESA dan Peneliti Sygma Research and Consulting

Hariannetwork.com – Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam pembukaan Indo Defence 2025 kembali menggema di tengah meningkatnya tensi global, terutama setelah pecahnya konflik Iran-Israel yang berpotensi memicu eskalasi kawasan.

Dalam pidatonya, Prabowo menegaskan bahwa Indonesia tidak menginginkan perang, tetapi harus selalu siap untuk berperang jika kedaulatan terganggu. Sebuah pesan klasik yang merujuk pada adagium Latin: Si Vis Pacem, Para Bellum jika ingin damai, bersiaplah untuk perang.

Pesan Prabowo memiliki relevansi yang kuat dalam konteks saat ini. Dunia sedang memasuki babak baru ketidakpastian. Konflik di Timur Tengah, ketegangan di Laut China Selatan, dan rivalitas Amerika Serikat versus China menjadi bukti bahwa perdamaian bersifat rapuh dan dinamis. Dalam lanskap inilah, kesiapan pertahanan menjadi syarat mutlak, bukan lagi sebuah pilihan.

Prabowo mengingatkan luka sejarah bangsa Indonesia yang dijajah lebih dari 300 tahun. Ia mengutip riset yang menyebutkan bahwa selama masa penjajahan, kekayaan Indonesia dirampas hingga mencapai 31 triliun dolar AS angka fantastis yang setara dengan 18 kali PDB Indonesia saat ini. Pernyataan ini bukan semata narasi emosional, melainkan menjadi dasar logis mengapa bangsa ini harus memperkuat diri agar tragedi serupa tidak terulang.

Dalam perspektif realisme politik, Hans Morgenthau menegaskan bahwa politik internasional pada dasarnya adalah perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Dalam bukunya Politics Among Nations, Morgenthau menyatakan bahwa negara bertindak berdasarkan kepentingan nasional yang didefinisikan dalam kerangka kekuasaan. Dengan kata lain, negara yang tidak memiliki kekuatan akan mudah didikte dan kehilangan otonominya. Pernyataan Prabowo selaras dengan teori ini: kekuatan adalah jaminan eksistensi.

Pembangunan kekuatan militer menjadi salah satu cara menjaga kepentingan nasional. Dalam kerangka Morgenthau, kekuatan tidak semata dilihat dari kemampuan militer, tetapi juga dari stabilitas politik, ekonomi, dan moral nasional. Maka, visi pertahanan yang disampaikan Prabowo harus dipahami sebagai bagian dari strategi memperkuat posisi tawar Indonesia di level global.

Namun, penting untuk diingat bahwa membangun kekuatan pertahanan harus sejalan dengan penguatan diplomasi dan pembangunan manusia. Kesiapan militer tidak boleh menjadi alibi untuk mengabaikan agenda perdamaian dan kesejahteraan rakyat. Fokus pada kekuatan militer tanpa kecerdasan diplomatik justru dapat menciptakan isolasi dan memicu perlombaan senjata yang kontraproduktif.

Pernyataan tegas Prabowo “Daripada dijajah kembali, lebih baik kita mati” adalah refleksi nasionalisme yang dalam. Tetapi dalam konteks tatanan global modern, kemenangan terbesar bukanlah memenangkan perang, melainkan memenangkan perdamaian dengan kekuatan yang disegani.
Si vis pacem, para bellum tetap penting, tetapi mari kita tambah: pax per intelligentiam damai karena kecerdasan dan kebijaksanaan.

Penulis : 
Oleh: Ken Bimo Sultoni
Peneliti Politik Keamanan - Sygma Research and Consulting

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here